Rabu, 18 Juli 2012

Galery


PENYULUHAN TENTANG KESEHATAN REPRPDUKSI REMEJA

Sasaran
    Siswa-siswi MA Maleber

Kegiatan
    Penyuluhan Kesehatan dengan Tema tentang “Kesehatan Reproduksi Remaja”

Waktu dan Tempat
    Hari /Tanggal    : Jum’at / 01 juni 2012
    Tempat    : Sekolah MA MALEBER
    Waktu    : Jam 08.00 - selesai   

Hasil yang di harapkan
    Setelah Penyuluhan ini diharapkan Siswa/siswi dapat memahami dan mengerti tentang apa itu kesehatan reproduksi . Serta di harapkan dapat terjadi perubahan perilaku dari siswa-siswi terhadap kesehatan reproduksi remaja .

Manfaat
    Manfaat dari Kegiatan ini adalah agar sebagai anak remaja mendapatkan wawasan tentang pentungnya menjaga kesehatan reproduksi remaja.





BERITA ACARA

Nama Sekolah        : MADRASAH ALIYAH (MA) MALEBER
Hari / Tanggal          : Jum’at , 01 Juni 2012
MulaiAcara             : 07.00 – selesai
Sasaran                   : Kelas 1 & 2
Jumlah yang hadir    : 46 siswa
Tema                       : Kesehatan Reproduksi Remaja
Respon Peserta       : Baik

Panitia Pelaksana     :
Ketua                      : IyaSetiawati
Anggota                  : - Ida Sri Hamdani
                                 - PeraYuliana
                                 - RiniWulansari
                                 - RiskaYulianti
                                 - RizkyAyu Amelia
                                 - UlfaHermayanti
Mengetahui :

     Kepala Sekolah MA Maleber




 Drs. SARMAN SAPUTRA
NIP. 19620302 199203 1 002






DOKUMENTASI





Selasa, 17 Juli 2012

TEKNOLOGI FARMASI

PEMBUATAN TABLET , UJI DISOLUSI, DAN
PENETAPAN KADAR SECARA SPEKROFOTOMETRI


    Teori
Tablet adalah sediaan padat mengandung bahan obat dengan atau tanpa bahan pengisi. Berdasarkan metode pembuatan dapat digolongkan sebagai tablet cetak dan tablet kempa.
Tablet merupakan bentuk sediaan farmasi yang paling banyak tantangannya didalam mendesain dan membuatnya. Misalnya kesukaran untuk memperoleh bioavailabilitas penuh dan dapat dipercaya dari obat yang sukar dibasahi dan melarutkannya lambat, begitu juga kesukaran untuk mendapatkan kekompakan kahesi yang baik dari zat amorf atau gumpalan. Namun demikian, walaupun obat tersebut baik kempanya, melarutnya, dan tidak mempunyai masalah bioavailabilitas, mendesain dan memproduksi obat itu masih penuh tantangan, sebab masih banyak tujuan bersaing dari bentuk sediaan ini.

Keuntungan:
    Tablet merupakan bentuk sediaan yang utuh dan menawarkan kemampuan terbaik dari semua bentuk sediaan oral untuk ketepatan ukuran serta variabilitas kandungan yang paling rendah
    Tablet merupakan bentuk sediaan yang ongkos pembuatannya paling rendah.
    Tablet merupakan bentuk sediaan oral yang paling ringan dan paling ringan.
    Tablet merupakan bentuk sediaan oarl yang paling mudah dan murah untuk dikemas dan dikirim.
    Pemberian tanda pengenal produk pada tablet paling mudah dan murah; tidak memerlukan langkah pekerjaan tambahan bila menggunakan permukaan pencetak yang bermonogram atau berhiasan timbul.
    Tablet paling mudah ditelan serta paling kecil kemungkinan tertinggal di tenggorokan, terutama bila bersalut yang memungkinkan pecah/ hancurnya tablet tidak segera terjadi.
    Tablet bisa dijadikan produk dengan profil penglepasan khusus, seperti penglepasan di usus atau produk lepas lambat.
    Tablet merupakan bentuk sediaan oral yang paling mudah untuk diproduksi secara besar-besaran.
    Tablet merupakan bentuk sediaan oral yang memiliki sifat pencampuran kimia, mekanik, dan stabilitas mikrobiologi yang paling baik.
Kerugian:
    Beberapa obat tidak dapat dikempa menjadi padat dan kompak, tergantung pada keadaan amorfnya, flokulasinya, atau rendahnya berat jenis.
    Obat yang sukar dibasakan, lambat melarut, dosisnya cukupan atau tinggi, absorbsi optimumnya tinggi melalui saluran cerna atau setiapn kombinasi dari sifat diatas, akan sukar atau tidak mungkin diformulasi dan dipabrikasi dalm bentuk tablet yang masih menghasilkan bioavailabilitas obat cukup.
    Obat yang rasanya pahit, obat dengan bau yang tidak dapat dihilangkan, atau obat yang peka terhadap oksigen atau kelembaban udara perlu pengapsulan atau penyelubungan dulu sebelum dikempa (bila mungkin) atau memerlukan penyalutan dulu. Pada keadaan ini kapsul dapat merupakan jalan keluar yang terbaik dan lebih murah.
Kesimpulan dari keuntungan dan kerugian tablet dibandingkan dengan bentuk sediaan oral lainnya, ternyata tablet benar-benar memberikan keuntungan dalam bentuk tempat/ ruangan yang paling kecil yang diperlukan untuk penyimpanan, tablet juga mudah diberikan dan dikontrol, mudah dibawa, dan ongkosnya rendah. Bagi dokter dosisnya fleksibel (tablet dapat dibelah dua), serta dosisnya tetap.

    Sifat-sifat Tablet
1.   Kekerasan
Sebuah tablet yang baik adalah tablet yang cukup keras untuk dipegang smpai digunakan. Dalam bentuk lain tablet tidak boleh terlalu keras karena akan gagal dalam penghancuran atau gagal dalam larut dengan mudah.
2.   Keseragaman bahan aktif
Farmakope Amerika dan Formalariun Nasional menetapkan batasan dalam Potensi Tablet.
3.   Keseragaman Bobot
Walaupun telah di ketahui sejak lama bahwa secara kasat Variasi kadang-kadang terjadi dalam berat dari banyak yang sama dan secara Praktis cukup sulit dalam menyusun batasan yang layak dari pada Dinyatakan secara langsung dalam penyjian yang baru saja di nyatakan.

4.  Proses Penghancuran
Jika Tablet di harakan Efektif dalam pengobatan maka jelas tablet tersebut harus larut atau hancur dengan cepat.

    Metode Pembuatan Tablet
    - Metode Granulasi Basah
    Larutan granulasi
    Komponen yang diserbukan, ditimbang dan dicampur
    Campuran dibasahkan dengan penambahan larutan granulasi dalam jumlah yang secukupnya dan untuk memperoleh konsistensi yang sesuai atau tepat.
    Massa basah dibentuk menjadi granulasi
    Granulasi dikeringkan didalam oven
    Granulasi kering dibentuk ke ukuran rata-rata untuk pengempaan
    Ditambahkan lubrikan dan penghancur
    Formulasi yang sudah tercamur dikempa menjadi tablet
    Metode Granulasi Kering
    Dicampur bahan obat dan zat tambahan
    Digerus campuran tersebut menjadi serbuk
    Dikempa menjadi massa besar
    Massa besar tersebut diayak
    Dicampur dengan pelican dan penghancur
    Tablet dikempa
    Kompres Langsung
    Dicampur bahan obat dan zat tambahan
    Dihomogenkan semua bahan tersebut.

    Evaluasi sediaan tablet jadi meliputi :
1.  Keseragaman Bobot
Keseragaman sediaan dapat ditetapkan dengan salah satu dari dua metode, yaitu keseragaman bobot atau keseragaman kandungan. Persyaratan ini digunakan untuk sediaan mengandung satu zat aktif dan sediaan mengandung dua atau lebih zat aktif
Persyaratan keseragaman bobot dapat diterapkan pada produk kapsul lunak berisi cairan atau pada produk yang mengandung zat aktif 50 mg atau lebih yang merupakan 50% atau lebih, dari bobot, satuan sediaan. Persyaratan keseragaman bobot dapat diterapkan pada sediaan padat (termasuk sediaan padat steril) tanpa mengandung zat aktif atau inaktif yang ditambahkan, yang telah dibuat dari larutan asli dan dikeringkan dengan cara pembekuan dalam wadah akhir dan pada etiket dicantumkan cara penyiapan ini .
Tablet tidak bersalut harus memenuhi syarat keseragaman bobot yang ditetapkan sebagai berikut: Timbang 20 tablet, hitung bobot rata – rata tiap tablet. Jika ditimbang satu persatu, tidak boleh lebih dari 2 tablet yang masing – masing bobotnya menyimpang dari bobot rata – ratanya lebih besar dari harga yang ditetapkan kolom A, dan tidak satu tablet pun yang bobotnya menyimpang dari bobot rata – ratanya lebih dari harga yang ditetapkan kolom B. Jika tidak mencukupi 20 tablet, dapat digunakan 10 tablet; tidak satu tabletpun yang bobotnya menyimpang lebih besar dari bobot rata – rata yang ditetapkan kolom A dan tidak satu tabletpun yang bobotnya menyimpang lebih besar dari bobot rata – rata yang ditetapkan kolom B.
Bobot rata – rata    Penyimpanan bobot rata – rata dalam %
    A    B
25 mg atau kurang    15%    30%
26 mg sampai dengan 150 mg    10%    20%
151 mg sampai dengan 300 mg    7,5%    15%
Lebih dari 300 mg    5%    10%
Menurut Depkes RI (1995), untuk penetapan keseragaman sediaan dengan cara keseragaman bobot, pilih tidak kurang dari 30 satuan, dan lakukan sebagai berikut untuk sediaan yang dimaksud. Untuk tablet tidak bersalut, timbang saksama 10 tablet, satu per satu, dan hitung bobot rata-rata. Dari hasil penetapan kadar, yang diperoleh seperti yang tertera dalam masing-masing monografi, hitung jumlah zat aktif dari masing-masing dari 10 tablet dengan anggapan zat aktif terdistribusi homogen.
Kecuali dinyatakan lain dalam masing-masing monografi, persyaratan keseragaman dosis dipenuhi jika jumlah zat aktif dalam masing-masing dari 10 satuan sediaan seperti yang ditetapkan dari cara keseragaman bobot atau dalam keseragaman kandungan terletak antara 85,0% hingga 115,0% dari yang tertera pada etiket dan simpangan baku relatif kurang dari atau sama dengan 6,0% (Depkes RI, 1995).
Jika 1 satuan terletak di luar rentang 85,0% hingga 115,0% seperti yang tertera pada etiket dan tidak ada satuan terletak antara rentang 75,0% hingga 125,0% dari yang tertera pada etiket, atau jika simpangan baku relatif lebih besar dari 6,0% atau jika kedua kondisi tidak dipenuhi, lakukan uji 20 satuan tambahan. Persyaratan dipenuhi jika tidak lebih dari 1 satuan dari 30 terletak diluar rentang 85,0% hingga 115,0% dari yang tertera pada etiket dan tidak ada satuan yang terletak di luar rentang 75,0% hingga 125,0% dari yang tertera pada etiket dan simpangan baku relatif dari 30 satuan sediaan tidak lebih dari 7,8% (Depkes RI, 1995).
2.  Uji Kekerasan
Uji kekerasan tablet dapat didefinisikan sebagai uji kekuatan tablet yang mencerminkan kekuatan tablet secara keseluruhan, yang diukur dengan memberi tekanan terhadap diameter tablet. Tablet harus mempunyai kekuatan dan kekerasan tertentu serta dapat bertahan dari berbagai goncangan mekanik pada saat pembuatan, pengepakan dan transportasi. Alat yang biasa digunakan adalah hardness tester (Banker and Anderson, 1984). Kekerasan adalah parameter yang menggambarkan ketahanan tablet dalam melawan tekanan mekanik seperti goncangan, kikisan dan terjadi keretakan talet selama pembungkusan, pengangkutan dan pemakaian. Kekerasan ini dipakai sebagai ukuran dari tekanan pengempaan.
Alat yang dapat digunakan untuk mengukur kekerasan tablet diantaranya Monsanto tester, Pfizer tester, dan Strong cobb hardness tester. Faktor-faktor yang mempengaruhi kekerasan tablet adalah tekanan kompresi dan sifat bahan yang dikempa. Kekerasan ini dipakai sebagai ukuran dari tekanan pengempaan. Semakin besar tekanan yang diberikan saat penabletan akan meningkatkan kekerasan tablet. Pada umumnya tablet yang keras memiliki waktu hancur yang lama (lebih sukar hancur) dan disolusi yang rendah, namun tidak selamanya demikian. Pada umumnya tablet yang baik dinyatakan mempunyai kekerasan antara 4-10 kg. Namun hal ini tidak mutlak, artinya kekerasan tablet dapat lebih kecil dari 4 atau lebih tinggi dari 8 kg. Kekerasan tablet kurang dari 4 kg masih dapat diterima dengan syarat kerapuhannya tidak melebihi batas yang diterapkan. Tetapi biasanya tablet yang tidak keras akan memiliki kerapuhan yang tinggi dan lebih sulit penanganannya pada saat pengemasan, dan transportasi. Kekerasan tablet lebih besar dari 10 kg masih dapat diterima, jika masih memenuhi persyaratan waktu hancur/disintegrasi dan disolusi yang dipersyaratkan (Sulaiman, 2007). Uji kekerasan dilakukan dengan mengambil masing-masing 10 tablet dari tiap batch, yang kemudian diukur kekerasannya dengan alat pengukur kekerasan tablet. Persyaratan untuk tablet lepas terkendali non swellable adalah 10-20 kg/cm2 .
3.  Uji Kerapuhan (Friabilitas) Tablet
Kerapuhan merupakan parameter yang digunakan untuk mengukur ketahanan permukaan tablet terhadap gesekan yang dialaminya sewaktu pengemasan dan pengiriman. Kerapuhan diukur dengan friabilator. Prinsipnya adalah menetapkan bobot yang hilang dari sejumlah tablet selama diputar dalam friabilator selama waktu tertentu. Pada proses pengukuran kerapuhan, alat diputar dengan kecepatan 25 putaran per menit dan waktu yang digunakan adalah 4 menit. Jadi ada 100 putaran (Andayana, 2009). Kerapuhan dapat dievaluasi dengan menggunakan friabilator (contoh nya Rosche friabilator) (Sulaiman, 2007).
Tablet yang akan diuji sebanyak 20 tablet, terlebih dahulu dibersihkan dari debunya dan ditimbang dengan seksama. Tablet tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam friabilator, dan diputar sebanyak 100 putaran selama 4 menit, jadi kecepatan putarannya 25 putaran per menit. Setelah selesai, keluarkan tablet dari alat, bersihkan dari debu dan timbang dengan seksama. Kemudian dihitung persentase kehilangan bobot sebelum dan sesudah perlakuan. Tablet dianggap baik bila kerapuhan tidak lebih dari 1% (Andayana, 2009). Uji kerapuhan berhubungan dengan kehilangan bobot akibat abrasi yang terjadi pada permukaan tablet. Semakin besar harga persentase kerapuhan, maka semakin besar massa tablet yang hilang. Kerapuhan yang tinggi akan mempengaruhi konsentrasi/kadar zat aktif yang masih terdapat pada tablet. Tablet dengan konsentrasi zat aktif yang kecil (tablet dengan bobot kecil), adanya kehilangan massa akibat rapuh akan mempengaruhi kadar zat aktif yang masih terdapat dalam tablet (Sulaiman, 2007).
Hal yang harus diperhatikan dalam pengujian friabilitas adalah jika dalam proses pengukuran friabilitas ada tablet yang pecah atau terbelah, maka tablet tersebut tidak diikutsertakan dalam perhitungan. Jika hasil pengukuran meragukan (bobot yang hilang terlalu besar), maka pengujian harus diulang sebanyak dua kali. Selanjutnya tentukan nilai rata-rata dari ketiga uji yang telah dilakukan (Andayana, 2009).
4.  Uji Disolusi
Uji ini digunakan untuk menentukan kesesuaian dengan persyaratan disolusi yang tertera dalam masing-masing monografi untuk sediaan tablet dan kapsul, kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah. Ada dua jenis alat yang dapat digunakan untuk uji disolusi, untuk uji disolusi tablet parasetamol digunakan alat jenis 2 dengan kecepatan 50 rpm selama 30 menit. Uji kesesuaian alat dilakukan pengujian masing-masing alat menggunakan 1 tablet Kalibrator Disolusi FI jenis diintegrasi dan 1 tablet Kalibrator Disolusi FI jenis bukan disintegrasi. Alat dianggap sesuai bila hasil yang diperoleh berada dalam rentang yang diperbolehkan seperti yang tertera dalam sertifikat dari Kalibrator yang bersangkutan. Untuk media disolusi digunakan 900 mL larutan dapar fosfat pH 5,8. Kemudian lakukan penetapan jumlah parasetamol yang terlarut dengan mengukur serapan filtrat larutan uji dan larutan baku pembanding parasetamol BPFI dalam media yang sama pada panjang gelombang maksimum 243 nm. Dalam waktu 30 menit harus larut tidak kurang dari 80 % parasetamol dari jumlah yang tertera pada etiket (Lachman dkk., 2008).
5.  Waktu Hancur
Waktu hancur adalah waktu yang dibutuhkan sejumlah tablet untuk hancur menjadi granul/partikel penyusunnya yang mampu melewati ayakan no.10 yang terdapat dibagian bawah alat uji. Alat yang digunakan adalah disintegration tester, yang berbentuk keranjang, mempunyai 6 tube plastik yang terbuka dibagian atas, sementara dibagian bawah dilapisi dengan ayakan/screen no.10 mesh (Sulaiman, 2007).
Faktor-faktor yang mempengaruhi waktu hancur suatu sediaan tablet yaitu sifat fisik granul, kekerasan, porositas tablet, dan daya serap granul. Penambahan tekanan pada waktu penabletan menyebabkan penurunan porositas dan menaikkan kekerasan tablet. Dengan bertambahnya kekerasan tablet akan menghambat penetrasi cairan ke dalam pori-pori tablet sehingga memperpanjang waktu hancur tablet. Kecuali dinyatakan lain waktu hancur tablet bersalut tidak > 15 menit (Nugrahani, 2005).
Tablet yang akan diuji (sebanyak 6 tablet) dimasukkan dalam tiap tube, ditutup dengan penutup dan dinaik-turunkan keranjang tersebut dalam medium air dengan suhu 37° C. Dalam monografi yang lain disebutkan mediumnya merupakan simulasi larutan gastrik (gastric fluid). Waktu hancur dihitung berdasarkan tablet yang paling terakhir hancur. Persyaratan waktu hancur untuk tablet tidak bersalut adalah kurang dari 15 menit, untuk tablet salut gula dan salut nonenterik kurang dari 30 menit, sementara untuk tablet salut enterik tidak boleh hancur dalam waktu 60 menit dalam medium asam, dan harus segera hancur dalam medium basa (Sulaiman, 2007).
Untuk menetapkan kesesuaian batas waktu hancur yang tertera dalam masing-masing monografi. Untuk tablet parasetamol tidak bersalut pengujian dilakukan dengan memasukkan 1 tablet pada masing-masing tabung dari keranjang, masukkan satu cakram pada tiap tabung dan jalankan alat, gunakan air bersuhu 37º ± 2º sebagai media kecuali dinyatakan menggunakan cairan lain dalam masing-masing monografi. Pada akhir batas waktu seperti yang tertera dalam monografi, angkat keranjang dan amati semua tablet: semua tablet harus hancur sempurna. Bila 1 tablet atau 2 tablet tidak hancur sempurna, ulangi pengujian dengan 12 tablet lainnya: tidak kurang 16 dari 18 tablet yang diuji harus hancur sempurna (Lachman dkk., 2008).
    Pembuatan Larutan NaOH 1,0 N
    Sebanyak 1 gram NaOH padat ditimbang, kemudian dilarutkan dengan sedikit air bebas CO2. Dimasukkan ke dalam labu takar 250 mL dan ditambahkan air bebas CO2 hingga tanda batas (Depkes RI, 1995).
    Pembuatan Larutan Baku Paracetamol (1 mg/mL)
    Ditimbang seksama 10 mg parasetamol BPFI, dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL, kemudian ditambahkan metanol hingga tanda batas dan dikocok hingga homogen (Depkes RI, 1995).
    Pembuatan Larutan Stok Baku Parasetamol
    Perhitungan pengenceran:
Dibuat larutan parasetamol dengan konsentrasi 1 mg/mL ( 1000 µg/mL ) yaitu dengan menimbang sebanyak 10 mg parasetamol kemudian dilarutkan dalam labu takar 10 mL dengan menambahkan metanol sampai tanda batas.


Untuk mendapatkan larutan dengan kadar 10 µg/mL (0,01 mg/mL), maka dilakukan pengenceran:
V1 x M1            =    V2 x M2
V1 . 1000 µg/mL        =    100 ml . 10 µg/mL
V1                =    1 mL
Sehingga dari larutan dengan kadar 1000 µg/ml dipipet sebanyak 1 mL kemudian di ad NaOH sampai 100 ml untuk mendapatkan kadar larutan baku 10 µg/mL (0,01 mg/mL).
    Pengukuran Panjang Gelombang Maksimum Parasetamol
Untuk menentukan panjang gelombang maksimum dilakukan perhitungan konsentrasi larutan pada absorbansi 0,434 di mana pada absorbansi tersebut terjadi kesalahan relatif minimal. Paracetamol dalam larutan basa memiliki nilai A11=715 L mol -1 cm -1 sehingga konsentrasi larutan parasetamol yang harus dibuat:
A         =     e b c
0,434    =    715 L mol -1 cm -1 × 1 cm × c
c         =     0,434 / 715 L mol -1
c        =     6,07 x 10-4 g/100 mL
c         =     6,07 µg/mL
Untuk mendapatkan larutan dengan konsentrasi 6,07 µg/mL, maka dilakukan perhitungan larutan yang harus dipipet dari larutan stok baku parasetamol 10 µg/mL. Perhitungan:
V1 × N1    =    V2 × N2
V1 . 10 µg/mL    =    10 ml . 6,07 µg/mL
V2        =    6,07 mL
Sehingga, dari larutan dengan kadar 10 µg/mL dipipet sebanyak 6,07 mL larutan kemudian di ad NaOH sampai 10 mL untuk mendapatkan kadar larutan 6,07 µg/mL. Larutan ini kemudian diukur dari panjang gelombang 220-320 nm.
    Pembuatan Larutan Standar untuk Uji Linieritas
Literatur, rentang absorbansi dengan kesalahan terkecil pada metode validasi adalah 0,2 – 0,8 (Gandjar dan Rohman, 2007), sehingga dalam praktikum ini akan dibuat beberapa larutan standar yang memberikan nilai absorbansi dalam rentang 0,2 – 0,8.
Larutan induk parasetamol 10 µg/mL = 0,01 mg/mL
    Membuat Kurva Kalibrasi
    Masing-masing larutan standar dibaca absorbansinya pada panjang gelombang maksimum. Hasil absorbansi tersebut diplot dalam kurva konsentrasi vs absorbansi. Dihitung persamaan regresi linier dengan rumus y = bx+a.
    Menetapkan Kadar Parasetamol
    Larutan hasil ekstraksi parasetamol dimasukkan ke dalam kuvet. Kemudian dibaca absorbansinya pada panjang gelombang maksimum. Masukkan nilai absorbansi yang dihasilkan ke dalam persamaan regresi linier sebagai fungsi y. Dihitung konsentrasi parasetamol.

    Disolusi Obat
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat penting artinya bagi ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh. Sediaan obat yang harus  diuji disolusinya adalah bentuk padat atau semi padat, seperti kapsul, tablet atau salep.
Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larutan dalam cairan pada tempat absorbsi. Sebagai contoh, suatu obat yang diberikan secara oral dalam bentuk tablet atau kapsul tidak dapat diabsorbsi sampai partikel-partikel obat larut dalam cairan  pada suatu tempat dalam saluran lambung-usus. Dalam hal dimana kelarutan suatu obat tergantung dari apakah medium asam atau medium basa, obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan dalam usus halus. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi.
Bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukkan dalam saluran cerna, obat tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk padatnya. Kalau tablet tersebut tidak dilapisi polimer, matriks padat juga mengalami disintegrasi menjadi granul-granul, dan granul-granul ini mengalami pemecahan menjadi partikel-partikel halus. Disintegrasi, deagregasi dan disolusi bisa berlangsung secara serentak dengan melepasnya suatu obat dari bentuk dimana obat tersebut diberikan.
Mekanisme disolusi, tidak dipengaruhi oleh kekuatan kimia atau reaktivitas partikel-partikel padat terlarut ke dalam zat cair, dengan mengalami dua langkah berturut-turut:
    Larutan dari zat padat pada permukaan membentuk lapisan tebal yang tetap atau film disekitar partikel
    Difusi dari lapisan tersebut pada massa dari zat cair.
Langkah pertama,. larutan berlangsung sangat singkat. Langka kedua, difusi lebih lambat dan karena itu adalah  langkah terakhir.
Adapun mekanisme disolusi dapat digambarkan sebagai berikut :






       
                                                                 Difusi layer model (theori film)
Pada waktu suatu partikel obat memngalami disolusi, molekul-molekul obat pada permukaan mula-mula masuk ke dalam larutan menciptakan suatu lapisan jenuh obat-larutan yang membungkus permukaan partikel obat padat. Lapisan larutan ini dikenal sebagai lapisan difusi. Dari lapisan difusi ini, molekul-molekul obat keluar melewati cairan yang melarut dan berhubungan dengan membrane biologis serta absorbsi terjadi. Jika molekul-molekul obat terus meninggalkan larutan difusi, molekul-molekul tersebut diganti dengan obat  yang dilarutkan dari permukaan partikel obat dan proses absorbsi tersebut berlanjut.
Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah cepat, atau jika obat diberikan  sebagai suatu larutan  dan tetap ada dalam tubuh seperti itu, laju obat yang terabsorbsi terutama akan tergantung pada kesanggupannya menembus  menembus pembatas membran. Tetapi, jika laju disolusi  untuk suatu partikel obat lambat, misalnya mungkin karena karakteristik zat obat atau bentuk dosis yang diberikan , proses disolusinya sendiri akan merupakan tahap yang menentukan laju dalam proses absorbsi. Perlahan-lahan obat yang larut tidak hanya bisa diabsorbsi pada suatu laju rendah, obat-obat tersebut mungkin tidak seluruhnya diabsorbsi atau dalam beberapa hal banyak yang tidak diabsorbsi setelah pemberian ora, karena batasan waaktu alamiah bahwa obat bisa tinggal dalam lambung atau saluran usus halus.
Pemikiran awal dilakukannya uji hancurnya tablet didasarkan pada kenyataan bahwa tablet itu pecah menjadi lebih luas dan akan berhubungan dengan tersedianya obat di dalam cairan tubuh. Namun sebenarnya uji hancur hanya waktu yang diperlukan tablet untuk hancur di bawah kondisi yang ditetapkan dan lewatnya partikel melalui saringan. Uji ini tidak memberi jaminan bahwa partikel-partilkel tersebut akan melepas bahan obat dalam larutan dengan kecepatan yang seharusnya. Untuk itulah sebabnya uji disolusi dan ketentuan uji dikembangkan bagi hampir seluruh produk tablet .     

    Tujuan
  •     Mengenal teknik pembuatan tablet parasetamol
  •     Menentukan Konstanta Kecepatan Disolusi Tablet Parasetamol dengan Menggunakan Air suling Sebagai Medium Disolusi dengan menggunakan Alat disolusi
  •     Untuk mengamati waktu hancur Obat
  •     Untuk mengetahui dan Memahami metode penetapan kadar Tablet Parasetamol secara spektropotometri

    Identifikasi
A.  Alat
    Gelas Ukur                                          -    Jarum suntik
    Corong                                                 -   Jangka sorong
    Timbangan                                          -    Penggaris
    Mortir                                                  -    Kupet
    Kertas Perkamen                                 -    Mesin disolusi
    Becker Gelas                                       -    Mesin uji waktu hancur
    Timbangan digital                               -    Alat Spektrofotometri
B.     Bahan
    Paracetamol                    -    Laktosa
    Amylum                    -    NaOH
    Kalium Klorida
    Vial
     Labu ukur
    Tinjauan Tentang Bahan Obat
1. Latar Belakang Bahan Obat
a). Bahan
Nama bahan obat     : Paracetamol
Nama kimia     : 4-hidroksiasetanilida [103-90-2]
Struktur kimia     : C8H9NO2
BM             : 151,16
Kemurniaan     : Mengandung tidak kurang dari 98,0 % dan tidak lebih dari 101,0% C8H9NO2 dihitung terhadapzat anhidrat.
Efek terapeutika     : Suatu metabolit dari fenasetin dan asetanilida digunakan sebagai suatu analgesik dan anti piretik.
Efektif pada berbagai jenis keadaan artritis dan rematik termasuk nyeri otot rangka juga dada, nyeri kepala, dysmenore, myralgia, dan neuralgia. Asetaminofen sebagian berguna sebagai suatu analgesik dan anti piretik pada pasien yang sensitif terhadap aspirin dan pasien yang memiliki pengalaman terhadap reaksi yang tidak diinginkan dari aspirin.
Dosis pemakaian     : Biasa dewasa oral 300 mg – 1 gr ¾ kali sehari.
Biasa pedriatis oral 175 mg / m2 kali permukaan tubuh terdiri dari:
60 mg 3-4 dd anak usia dibawah 1 tahun
60 mg - 120 mg 3-4 dd anak usia 1-2 tahun
120 mg 3-4 dd anak usia 3-5 tahun
150 mg-325 mg 3-4 dd anak usia 6-112 tahun
b) Tinjauan Farmakologi bahan obat
Indikasi     : Analgasik dan anti piretik, sebagai analgesik, parasetamol sebaiknya tidak diberikan terlalu lama karena kemungkinan menimbulkan nefropati analgetik
Kontra Indikasi     : disfungsi ginjal atau hati.
Efek Samping     : Eritem dan Urtikaria, gejala yang lebih berat berupa demam dan lasi pada mukosa. Penggunaan semua jenis analgesik dosis besar secar menahun dapa menyebabkan nefropati analgesik.
c) Organoleptis
Warna     : Pituh
Bau     : Tidak berbau
Rasa     : Sedikit pahit
d) Karakteristik fisik/fisikomekanik
Titik lebur      : 168 – 1720
Bobot jenis : Bobat jenis benar adalah bobot jenis tanpa pori-pori. Bobot jenis nyata adalah perbandingan masa terhadap volume dari sejumlah serbuk yang dituang bebas kedalam suatu gelas ukur.  Bobot jenis mampat adalah perbandingan masa terhadap volume satelah masa tersebut dimampatkan sampai volume tetap.
Sifat alir     : Sifat aliran yang dinyatakan dengan kecepatan aliran yaitu waktu yang diperlukan suatu kuantitas serbuk tertentu melalui corong tertentu.
f) Karekteristik fisikokimia
Kelarutan :
70 bagian air
20 bagian air mendidih
7 – 10 bagian alkohol
9 bagian propilen glikol
Sangat mudah larut dalam kloroform
Praktis tak larut dalam eter
Larut dalam laruan alkali hidroksida pKa : (250) 9,5
g) Stabilitas larutan
Terhadap pelarut    :  Paracetamol sangat stabil dalam air
Terhadap PH    : Waktu paruh dalam larutan terdapat pada PH 6 diperkirakan selama 21,8 tahun, penurunannya dikatalisis oleh asam dan basah dan waktu paruhnya 0,73 tahun pada PH 2,28 tahun pada PH 9.

h) Prosedur penetapan kadar
Larutan baku     : Timbang seksama sejumlah perasetamol BPFI, larutkan dalam air hingaa kadar lebih kurang 12 / ml.
Larutan uji     : Timbang seksama lebih kurang 120 mg, masukan kedalam labu ukur terukur 500 ml, larutkan dalam 10 ml metanol P, encerkan dengan air sampai tanda. Masukan 5,0 ml larutkan kedalam labu terukur 100 ml, encerkan dengan air sampai tanda dan campur. Ukur serapan larutan uji dan larutan baku pada panjang gelombang serapan maksimum lebih kurang 244 nm, terhadap air sebagai blanko.
    Bahan tambahan yang digunakan
     Amilum (C6H10O5)n
BM     : 50.000 – 160.000
PH     : 5,5 – 6,5 untuk 2% b/v
Fungsi     : Glidan, dilven, binder, disinteran
Distribusi partikel : 10 – 100 µm
Rentang     : 2 – 32 µm
Kelarutan     : PTl etanol dingin (950) dan dalam air dingin
Flowability     : 10,8 – 11,7 g/s pati jagung.
Stabilitas dan penyimpanan : amilum yang kering dan tidak dipanasi stabil jika terlindung dari (high humidity) saat digunakan sebagai pelincir atau disintegran pada sediaan padat, amilum dipertimbangkan sebagai bahan inert dibawah kondisi penyimpanan normal. Namun larutan amilum yang dipanaskan atau pasta amilum secara fisik tidak stabil dan rentan serangan mikroorganisme dan menyebabkan a wide voriety of starch derivatives and modified storches that have unique phisical properties. Amilum harus disimpan dalam wadah tertutup rapat ditempat sejuk dan kering.
     Magnesium Stearas
Kelarutan     : Praktis tidak larut dalam air. Dalam etanol (95%) p dan dalam eter p.
Identifikasi    : Panaskan 1 g dengan campuran 25 ml air dan 5 ml asam klorida p, diinginkan, lapisan minyak memadat pada suhu lebih kurang 500 dan lapisan air menujukan reaksi magnesium yang tertera pada reaksi identifikasi .
Penyimpanan     : dalam wadah tertutup baik .
Khasiat     : antasidum ,zat tambahan .
Pemerian     : serbuk halus, putih, licin dan mudah melekat pada kulit dan berbau  lemah khas .
     Lactosum (C12H22O11.H2O)
BM : 36,30
Pemerian     : Serbuk hablur, putih, tidak berbau, rasa agak manis
Kelarutan     : Larut dalam 6 bagian air, larut dalam 1 bagian air mendidih, sukar larut dalam etanol (95%) P, Praktis tidak larut dalam kloroform P, dan dalam eter P.
Identifikasi    :
    Jika dipanaskan, meleleh, menggembung, kemudian terbakar, terjadi bau gula terbakar, sisa arang menggunduk.
    Pada 5 ml larutan jenuh, tambahkan 5 ml larutan natrium hidroksida encer P, Panaskan : Terjadi warna kuning, kemudian merah kecoklatan. Dinginkan tambahkan beberapa tetes larutan kalium tembaga (II) tatrat P, terbentuk endapan merah tembaga (I) Oksida.
Penyimpanan     : Dalam wadah tertutup baik
Khasiat     : Sebagai Zat tambahan.
    Natrii Hydroxidum
Rumus Molekul    :  NaOH
Berat Molekul     :  40,00
Pmerian    : Bentung batang,butiran, masa hablur/ keeping, kering, keras, rapuh, dan menjukan susunan hablur, putih, mudah meleleh , basah. Sangat korosif dan Alkalis. Segera menyerat karbon dioksida.
Kelarutan     :  Sangat mudah larut dalam air dan etanol (95%) p,
Identifikasi     : Larutan bereaksi alkalis kuat, jika di netralkan dengan asam Klorida encer p, menunjukkan reaksi natrium yang tertera pada reaksi identifikasi .
Khasiat : Zat tambahan.
    Kalium Klorida
Rumus Molekul     : KCl
Berta Molekul     : 74, 55
Pemerian     : Hablur berbentuk kubus, atau berbentuk prisma, tidak berwarna atau serbuk butir putih, tidak berbau, rasa asin mantap diudara.
Kelarutan     : Larut dalam 3 bagian air, sangat mudah larut dalam air mendidih, praktis tidak larut dalam etanol mutlak P dan dalam eter P.
Identifikasi     : Menunjukkan reaksi kalium dan klorida yang tertera pada reaksi identifikasi.
Khasiat : Sumber ion kalium 



    Prosedur
Formula :
        R/ Paracetamol     125 mg
Amylum pengisi     10%
Amylum pengikat     2%
Magnesium Stearat     Qs
Laktosa                         Qs

    a. Perhitungan Obat Formulasi
    Paracetamol                  125 mg x 100 = 12.500 mg = 12,5 g
    Amylum (pengisi)         10% x 250 mg = 25 x 100 = 2500 mg = 2,5 g
    Amylum ( pengikat)      2% b/v = 2/100 x b/v
                                                   = 2/100 x g/ml =2/100 x g/100
                                                   = 200/100
           = 2 gr
    Laktosa + Mg.Steart qs         
 250 x 100 = 25.000 – ( 12.500 + 2.500)
               = 25.000 – 15.000
               = 10.000 mg
Jadi, dari 10.000 mg diambil untuk laktosa 3000 mg = 3 gr dan untuk Mg.Stearat 7000 mg = 7 gr.


   b.  Cara Pembuatan Tablet
  1.     Siapkan alat dan bahan
  2.     Timbang semua bahan yang akan digunakan
  3.     Masukkan amylum kedalam mortar, tambahkan parasetamol kedalam mortir aduk hingga homogen
  4.     Masukkan laktosa kedalam mortar aduk hingga homogeny (campuran 1)
  5.     Buat pasta kanji dengan cara :
  6.     Panaskan air 100ml hingga mendidih
  7.     Masukan amylum (pengikat) 5g sedikit demi sedikit kedalam air mendidih sambil diaduk sampai membentuk gel, dinginkan.
  8.     Masukan pasta kanji kedalam campuran (1) kedalam mortar sedikit demi sedikit sampai homogen.
  9.     Ayak campuran tersebut hingga membentuk granulasi.
  10.     Timbang granul-granul tersebut, catat hasil penimbangan pertama (22,25g)
  11.     Masukkan kedalam open selama 3 hari dalam suhu 1600C
  12.     Sediaan ditimbang kembali (18,45g)
  13.     Masukkan kedalam mortar dan tambahkan magnesium stearat, aduk hingga homogen
  14.     Masukkan sediaan kedalam mesin pencetak.
  15.     Hitung berapa banyak tablet yang diperoleh (catat) dan hitung berat tablet satu persatu dan ukur ketebalan beserta diameter tablet, lalu hitung rata-rata.
  16.     Masukkan kedalam wadah tablet.

c.     Cara Pembuatan NaOH
    Timabang NaOH sebanyak 0,4 gr larutan dalam 1000 ml air

d. Cara Disolusi
    Timbang KCL 14,910 g di larutkan dalam 1000 ml air bebas karbondioksida
    Ambil 225 ml larutan KCL 0,2 M ad sampai dengan 900 ml air bebas karbondioksida
    Gunakan indicator pH untuk mengecek pH
    Media disolusi dimasukkan ke tabung disolusi
    Masukkan satu tablet ke dalam media disolusi

e.     Cara Uji Waktu Hancur
    Masukkan 900 ml air bebas karbondioksida ke dalam becker gelas yang ada pada alat uji waktu hancur , masukkan satu tablet paracetamol . Amati waktu hancurnya.

f.     Penetapan Kadar Tablet Paracetamol
Timbang secara seksama sejumlah serbuk tablet setara dengan 150 mg  lalu tambahkan 50 ml natrium hidroksida 0,1 N , encerkan dengan 100 ml air kocok selama 15 menit tambahkan air secukupnya hingga 10,0 ml campur , saring lalu encerkan 10,0 filtrat dengan air secukupnya hingga 100,0 ml . Ukur serapan 1 cm larutan pada maksimum lebih kurang 257 nm . A (1% 1cm) pada maksimum lebih kurang 257 nm adalah 715 .

g.  Pembuatan Larutan Induk Paracetamol
Timbang secara seksama 150 mg paracetamol , masukkan dalam labu ukur 250 ml menggunakan larutan NaOH 0,1 N

h.     Prosedur Pengukuran Serapan
  1. Siapkan Pengukuran Serapan untuk Di buat dengan konsentrasi 6 , 9 ,12 , 15
  2. Ambil 0,4 ml dari larutan induk paracetamol masukkan dalam labu ukur , kemudiaan encerkan dengan NaOH sampai 100 ml . Tempelkan stiker angka 6 pada labu
  3. Ambil 0,6 ml larutan induk paracetamol ke dalam labu ukur kemudian encerkan dengan NaOH sampai 100 ml . Tempelkan stiker angka 9 pada labu
  4. Ambil 0,8 ml larutan induk paracetamol ke dalam labu ukur kemudiaan encerkan dengan NaOH sampai 100 ml . Tempelkan stiker angka 12 pada labu
  5. Ambil 1 ml larutan induk paracetamol ke dalam labu ukur kemudian encerkan dengan NaOH sampai 100 ml . Tempelkan stiker angka 15 pada labu
  6. Sediakan 2 kupet dan bersihkan dengan menggunakan alcohol
  7. Masukkan larutan NaOH ke dalam ¾ bagian kupet lalu masukkan ke dalam alat spektrofotometri
  8. Masukkan larutan No.6 ke dalam kupet dan simpan di alat spektrofotometri , kemudian catat serapannya
  9. Kupet di keluarkan dan larutannya di buang serta kupet di bersihkan dengan tisu kemudiaan masukkan larutan No.9 ke dalam kupet dan simpan di alat spektrofotometri , catat serapannya
  10.     Kupet dikeluarkan dan larutannya di buang serta kupet di bersihkan dengan tisu , kemudian masukkan larutan No. 12 ke dalam kupet dan simpan di alat spektrofotometri , catat serapannya
  11.     Kupet di keluarkan dan larutannya dibuang serta kupet dibersihkan dengan tisu , kemudian masukkan larutan No. 15 ke dalam kupet dan di simpan di alat spektrofotometri ,catat serapannya
  12.     Bersihkan semua kupet 
i.     Prosedur Penetapan Kadar
  1.     Sediakan 4 vial , ambil 5 ml sampel dari media disolusi masig-masing pada saat waktu 5 menit , 15 menit , 30 menit , dan 60 menit , dengan menggunakan jarum suntik
  2.     Kemudiaan masukkan ke dalam vial dan beri tanda
  3.     Setiap 5 ml larutan yang di ambil dari media disolusi harus di isi kembali 5 ml air ke dalam media di solusi
  4.     Setiap sampel dimasukkan ke dalam alat spektrofotometri secara bergantian , disertai larutan blangko (NaOH)
  5.     Catat konsentrasinya dari setiap sampel
  6.     Hitung % kadar paracetamol dari masing-masing sampel .
  7.     Hasil Pengamatan
  8.     Evaluasi Tablet
Data yang di Peroleh :
TABLET (gr)
0,16    0,18    0,13    0,14    O,18    0,15    0,17    0,15    0,12    0,17
0,17    0,12    0,12    0,14    0,19    0,15    0,17    0,14    0,12   
0,16    0,19    0,12    0,14    0,19    0,14    0,15    0,17    0,13   
0,15    0,13    0,16    0,15    0,13    0,14    0,12    0,16    0,13   
0,14    0,14    0,17    0,16    0,14    0,13    0,14    0,16    0,14   
0,17    0,15    0,17    0,16    0,13    0,12    0,15    0,12    0,17   
0,14    0,13    0,18    0,18    0,12    0,12    0,14    0,12    0,16   
Keterangan :
    Jumlah Tablet yang di hasilkan 64 Tablet
    Rata-rata berat tablet 0,15 dari jumlah 9,59
    Diameter pertablet 0,8
    Dengan tebal tablet 0,4
2.     Penentuan Kurva Kalibrasi Parasetamol
Larutan baku kerja paracetamol menghasilkan kurva kalibrasi pada panjang gelombang                       257 nm dapat dilihat pada tabel Serapan Kurva Kalibrasi di bawah ini :
Konsentrasi (ug/ml )    Serapan
6    0,161
9    0,271
12    0,321
15    0,474
Di cari nilai a, b , dan r dengan persamaan regresi sebagai berikut :
Y = a + bx
Hasil :  a = - 0,0394
            b = 0,032966666
             r = 0,982180334

3.     Perhitungan Kadar
Sampel    Waktu Pengambilan
(Menit)    Absorbansi (y)
1.    5 Menit    0,215
2.    15 Menit    0,438
3.    30 Menit    0,575
4.    60 Menit    0,795

a.  Pada waktu 5 menit, dimana :
y     =  0,215
y  =  a + bx

x=(y-a)/b
x=(o,215-(-0,0394))/0,03296666
x=0,2544/0,03296666=7,71

Kadar   x=7,71 x 250 x  100/10 x 100/10
 = 7,71 x 250 x 100
 =192.750 μg⁄(ml  )=192,75 mg

% Kadar  = (192,75)/150  x 100
      = 128,5 %
               = 0,285 x 〖10〗^(-2) %

b.     Pada waktu 15 menit, dimana :
y = 0,438
 y = a + bx

x=(y-a)/b
x=(o,438-(-0,0394))/0,03296666
x=0,4774/0,03296666=12,0335

   Kadar    x=12,0335 x 250 x  100/10 x 100/10
= 12,0335 x 250 x 100
=300.750 μg⁄(ml  )=300.75 mg
  % Kadar     = (300.75 )/150  x 100
          = 200,5%
         = 200,5 x 〖10〗^(-2) %

c.     Pada waktu 30 menit, dimana :
y = 0,575
y = a + bx

x=(y-a)/b
x=(0,575-(-0,0394))/0,03296666
x=0,6144/0,03296666=12,0335

Kadar   x=18.637x 250 x  100/10 x 100/10
= 18.637 x 250 x 100
=465.925 μg⁄(ml  )=465,925 mg

% Kadar    = (465,925  )/150  x 100
= 310,616%
= 0,310616 x 〖10〗^(-2) %

d.     Pada waktu 60 menit, dimana :
y  = 0,795
y  = a + bx

x=(y-a)/b
x=(0,795-(-0,0394))/0,03296666
x=(o,8344)/0,03296666=25,31

Kadar   x=25,31x 250 x  100/10 x 100/10
= 25,31 x 250 x 100
=632.750 μg⁄(ml  )=632,75 mg

% Kadar  = (632,75  )/150  x 100
         = 421,83%
         = 0,42183 x 〖10〗^(-2) %
e.     Perhitungan paraetamol untuk masing-masing konsentrasi
Parasetamol =(150 mg)/(100 ml)=1,5mg⁄m=1500 μg⁄ml
    Untuk konsentrasi 6    =6/1500 x100ml=0,4 ml
    Untuk konsentrasi 9 =9/1500 x100ml=0,6 ml
    Untuk konsentrasi 12 =12/1500 x100ml=0,9 ml
    Untuk konsentrasi 15 =15/1500 x100ml= 1 ml

G. Pembahasan
Dari praktikum pembuatan tablet paracetamol dapat di simpulkan bahwa tablet adalah sediaan obat pada takaran tunggal . sediaan ini di cetak dari serbuk kering ,kristal atau granulat, umumnya dengan penambahan bahan pembantu, pada mesin yang sesuai dengan menggunakan tekanan tinggi . tablet dapat berbentuk slinder,kubus,batang dan cakram.serta bentuk seperti teluratau peluru .garis tengah tablet pada umumnya berukuran 5-17 mm,sedangkan bobot tablet 0,1-1 g . 
Pada Praktikum kali ini Tablet yang akan dicetak yaitu sedian Parasetamol , Parasetamol atau asetaminen merupakan  obat analgesik dan antipiretik yang populer dan digunakan untuk melegakan sakit kepala, sengal-sengal dan sakit ringan, dan demam. Digunakan dalam sebagian besar resep obat analgesik salesma dan flu. Ia aman dalam dosis standar, tetapi karena mudah didapati, overdosis obat baik sengaja atau tidak sengaja sering terjadi.
Mekanisme aksi utama dari parasetamol adalah hambatan terhadap enzim siklooksigenase (COX: cyclooxigenase), dan penelitian terbaru menunjukkan bahwa obat ini lebih selektif menghambat COX-2. Meskipun mempunyai aktifitas antipiretik dan analgesik, tetapi aktifitas anti-inflamasinya sangat lemah karena dibatasi beberapa faktor, salah satunya adalah tingginya kadar peroksida dapat lokasi inflamasi. Hal lain, karena selektifitas hambatannya pada COX-2, sehingga obat ini tidak menghambat aktifitas tromboksan yang merupakan zat pembekuan darah.
Dari sifat Farmakokinetiknya Pemberian obat Parasetamol secara oral sangat efektif, parasetamol memberikan efek analgesic yang mirip dengan salisilat, Selain Parasetamol zat tambahan yang digunakan dalam pembuatan ablet ini yaitu menggunakan Laktosa, Amylum, dan Mg.Stearat.
Parasetamol dipilih dalam pembuatan Tablet pada praktikum kali ini yaitu karena parasetamol merupakan zat aktif yang memeiliki air kurang baik. Umum digunakan cara granulasi Basah , juga parasetamol berkhasiat analgesic / antypiretik.
Selain itu juga Laktosa berfungsi sebagai pengisi yang memiliki sifat air kurang baik umum digunakan untuk granulasi basah , bersifat iert.
Amyulum Berfungsi sebagai pengikat diambil 33,3% karena Parasetamol bersifat hidrofobm selain itu juga digunakan sebagai penghancur luar, karena sifatnya mudah mengembang bila didispersikan kedalam air, diambil sebanyak 10% karena besarnya bobot tablet yang dibuat.
Mg. Stearat yaitu sebagai lubirikan/pelincir yang berfungsi untuk mencegah/ mengurangi gesekan antara dua permukaan yang relative bergerak
Setelah pembuatan tablet paracetamol dilakukan evaluasi terhadap tablet hasil kompresi dengan menggunakan metode garanulasi basah Adapun evaluasi yang dilakukan antara lain uji keseragaman bobot tablet uji kerapuhan tablet uji kekerasan tablet dan uji waktu hancur tablet Pada uji keseragaman bobot dilakukan penimbangan terhadap 100 tablet namun tablet yang dihasilkan hanya 64 tablet . Untuk uji keseragaman bobot  di sesuaikan  dengan yang tercantum pada literatur (FI IV/FI III) Dari hasil penimbangan diperoleh bobot tablet yang bervariasi dengan bobot tablet rata-rata sebesar 0,15 dari jumlah 9,59.
Uji disolusi digunakan untuk menentukan kesesuaian dengan persyaratan disolusi yang tertera dalam masing-masing monografi untuk sediaan tablet . Dalam Praktikum uji disolusi ini sampel larutan paracetamol ditampung sebanyak 10 ml pada menit ke 5, 15 , 30 dan 60 menit . Persentase paracetamol yang terdisolusi dari sampel 1 2 dan 3 pada masing-masing menit ke 5, 15, 30 dan 60 menit.
Pada Praktikum ini dilakukan penetapan kadar Parasetamol secara Spektofotomeri dengan menggunakan larutan konsentrasi 6,9,12, dan 15 yang telah di encerkan dengan NaOH 0,1 N ad 100 ml. dan juga menggunakan sampel 1, 2, 3 ,4 yang di ambil dari media Uji disolusi pada menit ke 5, 15, 30 , dan 60.
Sebelum dilakukan Spektofotometri , kuvet dibersihkan terlebih dahulu sampai tiga kali berturut dengan NaOH. Kuvet digunakan untuk larutan pembanding sebagai larutan Blangko. Setiap bahan sampel dimasukan dalam kuvet secara bergantian setelah muncul Nilai konsentrasi dan Nilai absorbansinya.

    Pada penetapan kadar 1, 2, 3, dan 4 harus menggunakan media disolusi sebagai larutan blanko agar hasil konsentrasinya akurat, sedangkan pada praktikum ini menggunakan larutan NaOH karena kurangnya bahan yang tersedia sehingga menyebabkan nilai konsentrasinya tidak akurat. pH pada media disolusi didapat 7 sedangkan dalam literature pH untuk media disolusi yaitu 5,8 karena bahan yang digunakan untuk media disolusi yaitu Kalium Klorida sedangkan dalam literature yaitu Kalium dihidrogen Fosfat.

    KESIMPULAN
Faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan suatu zat antara lain faktor utama lingkungan dapat menurunkan stabilitas diantaranya temperatur yang tidak sesuai, semakin tinggi suhu maka maka stabilitas obat semakin menurun, cahaya, kelembaban, oksigen dan faktor lain yang mempengaruhi stabilitas adalah ukuran partikel, pH, kelarutan, mikroorganisme dan bahan tambahan.
Adapun kesimpulan yang dapat ditarik uji evaluasi tablet yang dilakukan dalam praktikum ini adalah sebagai berikut.
Dari hasil percobaan didapatkan bahwa % kadar dari parasetamol, yaitu: pada t = 5’ adalah 0,285 x 〖10〗^(-2) %, pada t = 15’ adalah 200,5 x 〖10〗^(-2) %, pada t = 30’ adalah 0,310616 x 〖10〗^(-2) % dan pada t=60’ adalah 0,42183 x 〖10〗^(-2) %. Dan pada praktikum pembuatan tablet parasetamol memiliki jumlah tablet yang di hasilkan 64 tablet dengan rata-rata berat tablet 0,15 dari jumlah 9,59. Dan diameter pertablet 0,8.Dengan tebal tablet 0,4.


TUGAS MAKALAH

KATA PENGANTAR

 
Assalamu’alaikum wr.wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang yang berjudul “VAKSIN & SERUM”
kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak lepas dari bimbingan dan dukungan dari semua pihak, maka dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada Dosen pembimbing mata kuliahFarmakologi .
Dalam penyelesaian makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Akhir kata teriring dengan Do’a semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagimahasiswa Akademi Farmasi Muhammadiah khususnya maupun para pembaca umumnya.



Kuningan, Maret 2012


Penysusun,







BAB I
PENDAHULUAN


1.1    Latar Belakang
A.    Vaksin

Vaksin awal mula ditemukan sekitar abad ke-7 , seketika sekelompok orang Buddhis memutuskan bahwa mereka bisa menjadi imun terhadap efek dan racun ular dengan minuman suatu bahan yang sangat bau. Pada tulisan Cina pada abad ke-16 , dijelaskan bagaimana orang mengkontakan diri dengan cacar air yaitu dengan menempatkan bubuk kerak dari anak-anak yang terinfeksi ke dalam hidung anak-anak yang sehat.  Mereka berpikir bahwa mereka bisa membantu mencegah suatu penyakit atau kondidi dengan mengkontakkan diri dengan sebentuk bahan yang menjadi penyebabnya. Tetapi pada saat itu mereka belum sepenuhnyamemahami apa yang mereka lakukan. 
Pada akhir abad ke-18, Edward Jenner menemukan bahwa pengkontakkan dengan penyakit hewan cacar sapi, membuat orang imun terhadap penyakit cacar air manusia yang mematikan. Ini adalah konsep yang pada saat itu dianggap membantu meyelamatkan manusia, juga menghadirkan kemungkinan bahwa ada penyakit lain yang juga ditularkan bersamaan dengan virus yang dimasukan.
Diantara saat Jenner mempublikasikan karyanya pada tahun 1798 dan Louis Pasteur mengembangkan vaksin rabies yang pertama untuk manusia ditahun 1885, beberapa ahli ilmu termasuk Pasteur, memilih masalah ini. Pada saat itu, Pasteur memajukan konsep atenuasi atau pelemahan, yaitu penggunaan bentuk virus yang telah dilemahkan untuk menghasilkan imunisasi. Pasteur menemukan bahwa bentuk yang sudah dilemahkan dari kolera ayam sangat efektif dalam mencegah penyakit.
Sekarang ini Vaksin atenuasi digunakan secara luas. Protes terhadap pemakaian vaksin juga bukan suatu pemakaian yang baru. Ketika Pasteur memperkenalkan Vaksin rabiesnya untuk manusia di tahun 1885, baik para dokter maupun masyarakat memprotes penggunaannya. Pada pergantian abad, tentara inggris yang berperan diperang Boer di Afrika Selatas memproses keras suntikan melawan penyakit tifoid yang berbahaya. Pada dekade berikutnya berikutnya rasa takut pada polio begitu besar, sehingga imunisasi massal dengan suntikan vaksin salk yang dimualai th 1955 disambut terbuka. Tetapi ternyata Vaksin salk tidak bisa memberikan perlindungan penuh terhadap virus polio , sehingga dikenalkan Vaksin hidup oral dari sabin tahun 1961, yang menawarkan imunitas yang lebih luas. Sekarang ini vaksin oral tidak bisa lagi dianjurkan karena telah terbukti menyebabkan polio pada beberapa penerimanya dan orang-orang yang berkontak akrab dengan mereka yang baru divaksinisasi. Sejarahnya masih terus berjalan , vaksin baru dan formula baru dari vaksin yang sudah ada masih terus dikembangkan hingga sat ini.
B.    Serum
Di akhir abad ke 19, serum darah telah diketahui mengandung suatu faktor atau cara yang dapat digunakan untuk membunuh bakteri. Pada tahun 1896, Jules Bordet, ilmuwan muda Belgia dari Pasteur Institute, Paris, mendemonstrasikan bahwa prinsip ini bisa dianalisis menggunakan dua komponen: komponen panas-tetap dan komponen panas-labil. Panas-labil menunjukkan bahwa komponen akan kehilangan kemampuannya jika serum dipanaskan. Komponen panas-tetap ada untuk memberikan kekebalan melawan mikroorganisme spesifik, sedangkan komponen panas-labil bertanggung jawab terhadap aktivitas mikrobial non-spesifik yang dimiliki serum. Komponen panas-labil ini adalah yang disebut “komplemen”.
Istilah “komplemen” diperkenalkan oleh Paul Ehrlich di akhir tahun 1980an, sebagai bagian dari teorinya mengenai sistem kekebalan. Menurut teorinya, sistem kekebalan terdiri dari berbagai sel yang memiliki reseptor spesifik pada permukaannya untuk mengenali antigen. Pasca imunisasi dengan antigen, lebih banyak reseptor terbentuk, lalu reseptor itu mengalir dari sel ke aliran sirkulasi darah. Reseptor ini, yang saat ini kita kenal dengan nama “antibodi”, disebut oleh Ehrlich sebagai “amboceptor” untuk menekankan fungsi ganda reseptor dalam melakukan pengikatan. Reseptor tesebut mampu mengenali dan mengikat antigen spesifik, namun mereka juga mampu mengenali dan mengikat komponen antimikrobial panas-labil dari serum. Ehrlich lalu menamakan komponen panas-labil ini “komplemen” karena ini adalah sesuatu dalam darah yang menjadi komplemen sel pada sistem kekebalan.
Ehrlich percaya bahwa setiap amboceptor antigen spesifik memiliki komplemen yang spesifik, di mana Bordet percaya bahwa sebenarnya hanya ada satu tipe komplemen. Di awal abad ke 20, kontroversi ini terselesaikan ketika ditemukan bahwa komplemen bisa beraksi berpasangan dengan antibodi spesifik atau secara sendirian secara non-spesifik.
1.2    Rumusan Masalah
-    Apa yang dimaksud dengan Vaksin dan Serum ?
-    Apa jenis-jenis dari Vaksin dan Serum?
-     Bagaimana cara pengobatannya?
1.3    Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini yaitu agar kita bias mengetahui tentang vaksin dan serum beserta pengobatannya.







BAB II
PEEMBAHASAN

2.1 Devinisi
1. Vaksin

    Vaksin adalah suatu bahan yang di yakini dapat melindungi orang terhadap penyakit. Vaksin dibuat dari virus dan bakteri patogenyang di siapkanuntuk di suntikan kedalam tubuh sehingga dapat membantu memerangi penyakit yang lebih ganas atau di dapat secara alami. Tujuan utama vaksin adalah merangsang pembentukan antibody dengan konsentarasi yang cukup tinggi untuk menghilangkan perjalanan pathogen, sehingga mencegah mereka yang mendapat kan vaksinasi dari tejangkitnya penyakit.
Tujuan pemberian vaksin adalah merangsang imunitas seluler maupun humoral seperti yang layak nya timbul sebagai reaksi terhadap suatu infeksi alamiyah. Bila seseorang yang sudah di vaksinasi mengalami infeksi yang tidak menentu dan mungkin sekali serius gejalanya akan lebih ringan atau sama sekali tanpa manifestasiklinis. Vaksinasi menghindarkan efek-efek serius yang di akibat kan oleh mikroba yang virulen penuh.
Oleh karena itu, vaksin merupakan salah satu senjata yang paling ampuh dalam ilmu kedokteran prevektif trhadap penyakit infeksi. Kemungkinan dari vaksin hidup yang telah diperlemah adalah mempertahan kan keadaan yang setabil ini tanpa kekewatiran bahwa mikroba tersebut melalui proses mutasi menjadi virulen kembali.
Penggolongan vaksin dapat di golongkan berdasarkan jenis, viabilitas, komposisi dan cara pembuatanyan. Jenis mikroba dalam vaksin menghasil kan :
a)    Vaksin bacterial, yang terdiri dari bakteri hidup yang di lemah kan atau diinaktifkan, polisakarida dari kapsel fragmennya yang memiliki sifat antigen.
b)    Vaksin viral, yang terdiri dari vaksin hidup yang di lemah kan atau diinaktifkan, juga fragmen yang memiliki sifat antigen.
c)    Vaksin parasite, yaitu terdiri dari suatu protein yang terdapat di protein yang terdapat di permukaan sporozoid Plasmodium falciparum ( vaksin malaria, eksperimental ).
2.    Serum
Serum secara definisi adalah suatu cairan tubuh yang mengandung sistem kekebalan terhadap suatu kuman yang apabila dimasukkan ke dalam tubuh seseorang, maka orang tersebut akan mempunyai kekebalan terhadap kuman yang sama (imunitas pasif – red). Fungsi utama serum adalah mengobati suatu penyakit yang diakibatkan oleh kuman.
Serum dibuat dengan cara memasukkan vaksin ke dalam tubuh suatu hewan (sapi, kuda, kambing, dll) sehingga kekebalan tubuhnya memberikan respon terhadap vaksin tersebut. Setelah diuji dan hasilnya menunjukkan bahwa hewan tersebut telah kebal terhadap vaksin yang dimasukkan, maka dilakukan pengambilan darah melalui vena leher (vena jugularis). Setelah diambil, darah kemudian dipisahkan antara plasma dengan sel-sel dan protein darahnya. Plasma darah kemudian dimurnikan menjadi serum. Serum inilah yang akan memberikan kekebalan kepada seseorang yang melakukan imunisasi dengan serum.
Terdapat dua jenis protein yang utama di dalam serum, yaitu :
a.     Sering disebut albumin adalah protein dengan jumlah terbanyak di dalam tubuh. Albumin sangat penting demi memelihara tekanan osmosis untuk distribusi fluida tubuh antara intravascular compartment dan jaringan tubuh. Albumin juga berfungsi sebagai pengusung plasma dengan secara tidak langsung mengikat beberapa hormon steroid hydrophobic dan protein pengusung bagi hemin dan asam lemak dalam sirkulasinya. BSA, fraksi V dari serum albumin  berguna untuk meluruhkan beberapa substansi dari sirkulasi darah melalui jaringan hati, antara lain bilirubin, tiroksin, taurolithocholic acid, chenodeoxycholic acid, digitoksin dan juga heme peptida dari cytochrome C. 60% dari protein di dalam plasma darah, jumlah serum yang melebihi batas normal dapat membahayakan manusia.
b.  Serum globulin adalah istilah umum yang digunakan untuk protein yang tidak larut, baik di dalam air maupun di dalam larutan garam konsentrasi tinggi, tetapi larut dalam larutan garam konsentrasi sedang Globulin (bahasa Latin: globulus, bola kecil (bahasa Inggris: small globe)) mempunyai rasio 35% dari protein plasma, berguna untuk sirkulasi ion, hormon dan asam lemak dalam sistem kekebalan. Beberapa jenis globulin mengikat hemoglobin, beberapa yang lain mengusung zat besi, berfungsi untuk melawan infeksi, dan bertindak sebagai faktor koagulasi.
2.2 Jenis Vaksin dan Serum
1. Vaksin
a. BCG
Vaksin ini adalah vaksin bentuk beku kering yang mengandung Mycobacterium bovis hidup yang sudah dilemahkan (Bacillus Calmette Guerin = BCG ) . pemberian imunisasi BCG bertujuan untuk menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit tuberkulosis (TBC). Vaksin BCG mengandung kuman BCG (Bacillus Calmette guerin) yang masih hidup. Jenis kuman TBC ini telah dilemahkan. Imunisasi BCG sebaiknya dilakukan ketika bayi baru lahir sampai berumur 2 bulan. Pada anak yang berumur lebih dari 2 bulan, dianjurkan untuk melakukan uji Mantoux sebelum imunisasi BCG. Gunanya untuk mengetahui apakah ia telah terjangkit penyakit TBC. Seandainya hasil uji Mantoux positif, anak tersebut selayaknya tidak mendapat imunisasi BCG. Tetapi bila imunisasi BCG akan dilakukan secara massal (misalnya di sekolah, RT/RW, perusahaan, pabrik), maka pemberian suntikan BCG dilaksanakan secara langsung tanpa uji Mantoux terlebih dahulu. Hal ini dilakukan mengingat pengaruh beberapa faktor, seperti segi teknis penyuntikan BCG, keberhasilan program imunisasi, segi epidemiologik dan lain-lain. Penyuntikan BCG tanpa dilakukan uji Mantoux pada dasarnya tidaklah membahayakan. Namun seandainya orang tua merasa bimbang karena anak anda dengan tidak terduga mendapat imunisasi BCG di sekolah, sebaiknya bertanya kepada dokter atau petugas kesehatan lain.
Dan Biasanya setelah suntikan BCG bayi tidak akan menderita demam. Bila ia demam setelah imunisasi BCG umumnya disebabkan oleh keadaan lain. Untuk hal ini dianjurkan agar berkonsultasi dahulu dengan dokter.
Pada imunisasi BCG jarang dijumpai efek samping. Mungkin terjadi pembengkakan kelenjar getah bening setempat yang terbatas dan biasanya menyembuh sendiri walaupun lambat. Bila suntikan BCG dilakukan di lengan atas, pembengkakan kelenjar terdapat di ketiak atau leher bagian bawah. Suntikan di paha dapat menimbulkan pembengkakan kelenjar di selangkangan. Komplikasi pembengkakan kelenjar ini biasanya disebabkan arena teknik penyuntikan yang kurang tepat, yaitu penyuntikan terlalu dalam. Dalam masalah komplikasi yang ringan ini, bila terdapat keraguan dipersilahkan anda berkonsultasi dengan dokter. Tidak ada larangan untuk melakukan imunisasi BCG, kecuali pada anak yang berpenyakit TBC atau menunjukkan uji Mantoux positif.
b. Tetanus Toxoid(TT)
Vaksin TT adalah vaksin yang mengandung Toksoid Tetanus yang telah dimurnikan yang teradsorbsi ke dalam 3 mg/ml aluminium fosfat. Thimerosal 0,1 mg/ml digunakan sebagai pengawet. Satu dosis 0,5 ml vaksin mengandung potensi sedikitnya 40 IU. Vaksin TT dipergunakan untuk pencegahan tetanus pada bayi yang baru lahir dengan mengimunisasi wanita usia subur, dan juga untuk pencegahan tetanus.
c.  Vaksin DPT (Difteriaa, Pertusis, Tetanus)
Manfaat pemberian imunisasi Vaksin ini ialah untuk menimbulkan kekebalan aktif dalam waktu yang bersamaan terhadap penyakit difteria, pertusis (batuk rejan) dan tetanus. Dalam peredaran di pasaran terdapat 3 jenis kemasan vaksin ketiga penyakit ini. Anda dapat memperolehnya dalam bentuk kemasan tunggal khususnya bagi tetanus, dalam bentuk kombinasi DT (difteria dan tetanus), dan kombinasi DPT (dikenal pula sebagai vaksin tripel). Imunisasi dasar diberikan 2-3 kali, sejak bayi berumur 2 bulan dengan jarak waktu antara 2 penyuntikan 4-6 minggu. Imunisasi dasar dengan 3 kali penyuntikan lebih baik daripada dengan 2 kali penyuntikan. Untuk imunisasi massal (di sekolah, RT/RW), biasanya cukup diberikan 2 kali penyuntikan. Imunisasi ulang lazimnya diberikan ketika anak berumur 1 ½ – 2 tahun, menjelang umur 5 tahun (sebelum masuk sekolah dasar), dan menjelang umur 10 tahun (sebelum keluar Sekolah Dasar), masing-masing hanya diberi 1 kali suntikan.
Reaksi yang mungkin terjadi biasanya demam ringan, pembengkakan dan rasa nyeri di tempat suntikan selama 1 – 2 hari. Kadang-kadang terdapat akibat samping yang lebih berat, seperti demam tinggi atau kejang, yang biasanya disebabkan oleh unsur pertusisnya.
Imunisasi DPT tidak boleh diberikan kepada anak yang sakit parah, pernah menderita kejang atau pada penyakit gangguan kekebalan (defisiensi imunologik). Sakit batuk, pilek, demam atau diare yang sifatnya ringan, bukan merupakan indikasi kontra yang mutlak. Dokter akan mempertimbangkan pemberian imunisasi, seandainya anak anda sedang menderita sakit ringan.
d.  Diptheria
Vaksin difteri terbuat dari toksin kuman difteri yang telah dilemahkan Biasanya diolah dan dikemas bersama-sama dengan vaksin tetanus dalam bentuk vaksin DT, atau dengan vaksin tetanus dan pertusis dalam bentuk vaksin DPT.
Penyakit difteri disebabkan oleh sejenis bakteria yang disebut Corynebacterium diphtheriae. Sifatnya sangat ganas dan mudah menular. Seorang anak akan terjangkit difteri bila ia berhubungan langsung dengan anak lain sebagai penderita difteri atau sebagai pembawa kuman (carrier), yaitu dengan terhisapnya percikan udara yang mengandung kuman. Bila anak nyata menderita difteri dapat dengan mudah dipisahkan. Tetapi seorang carrier akan tetap berkeliaran dan bermain dengan temannya yang belum pernah mendapat imunisasi akan tertular penyakit difteri yang diperoleh dari temannya sendiri yang menjadi carrier.
Anak yang terjangkit difteri akan menderita demam tinggi. Selain itu pada tonil (amandel) atau tenggorok terlihat selaput putih kotor. Dengan cepat selaput ini meluas ke bagian tenggorok sebelah dalam dan menutupi jalan nafas, sehingga anak seolah-olah tercekik dan sukar bernafas. Kegawatan lain pada difteri ialah adanya racun yang dihasilkan oleh kuman difteri. Racun ini dapat menyerang otot jantung, ginjal dan beberapa serabut saraf. Kematian akibat difteri sangat tinggi; biasanya disebabkan anak “tercekik” oleh selaput putih pada tenggorok atau karena lemah jantung akibat racun difteri yang merusak jantung.
Pemberian Vaksin difteri biasanya dilakukan bersama-sama dengan tetanus (Vaksin DT) dan batuk rejan (vaksin DPT), sejak bayi berumur 2 bulan (lihatlah jadwal imunisasi hal. 61). Mula-mula diberikan dalam bentuk imunisasi dasar sebanyak 2-3 kali suntikan dengan jarak waktu antara 2 suntikan 4-6 minggu. Kemudian disusul dengan imunisasi ulang pada umur 1 ½ – 2 tahun, menjelang umur 5 tahun dan menjelang umur 10 tahun. Imunisasi ulang sewaktu diperlukan juga bila anak anda berhubungan dengan anak lain yang menderita difteri. Jadi bila anak terjangkit difteri, maka anak lain yang tinggal serumah harus mendapat imunisasi ulang meski pun belum waktunya. Daya proteksi atau daya lindung vaksin difteri cukup baik yaitu sebesar 80-95%.Reaksi pada vaksin ini Jarang terjadi, mungkin hanya berupa demam ringan selama 1-2 hari. Indikasi kontranya Hanya pada anak yang menderita demam tinggi atau sakit parah
e.  Diptheria Tetanus(DT)
Vaksin DT adalah vaksin yang mengandung Toksoid Difteri dan Tetanus yang telah dimurnikan yang teradsorbsi ke dalam 3 mg/ml aluminium fosfat. Thimerosal 0,1 mg/ml digunakan sebagai pengawet. Potensi komponen vaksin per dosis sedikitnya 30 IU (International Unit) untuk potensi Toksoid Difteri dan sedikitnya 40 IU untuk potensi Toksoid Tetanus.
Vaksin ini dibuat untuk keperluan khusus. Misalnya anak yang diperbolehkan atau tidak lagi memerlukan imunisasi pertusis, tetapi masih memerlukan imunisasi difteria atau tetanus. pemberian imunisasi dasar dan ulangan sama dengan pada imunisasi DPT. Efek samping ini hanya berupa demam ringan dan pembengkakan lokal di tempat suntikan selama 1 – 2 hari. Hanya diberikan pada anak yang sakit parah atau sedang menderita demam tinggi. Dengan pengawasan dokter, anak yang pernah kejang masih dapat diberikan imunisasi DT.
f. Poliomielitis
Vaksin Oral Polio hidup adalah Vaksin Polio Trivalent yang terdiri dari suspensi virus poliomyelitis tipe 1, 2 dan 3 (strain sabin) yang sudah dilemahkan, dibuat dalam biakan jaringan ginjal kera dan distabilkan dengan sukrosa.
Vaksin diberikan untuk mendapatkan kekebalan terhadap penyakit poliomielitis. Terdapat 2 jenis vaksin dalam peredaran, yang masing-masing mengandung virus polio tipe I, II dan III, yaitu:
(1)    Vaksin yang mengandung virus polio tipe I, II, dan III yang sudah dimatikan (vaksin Salk). Cara pemberian vaksin ini ialah dengan penyuntikan.
(2)    Vaksin yang mengandung virus polio tipe I, II, dan II yang masih hidup, tetapi dilemahkan (vaksin Sabin). Cara pemberiannya ialah melalui mulut dalam bentuk pil atau cairan.
Di Indonesia yang lazim diberikan ialah vaksin jenis Sabin. Kedua jenis vaksin tersebut mempunyai kebaikan dan kekurangannya. Kekebalan yang diperoleh sama baiknya. Karena cara pemberiannya lebih mudah melalui mulut, maka lebih sering dipakai jenis Sabin. Di beberapa negara dikenal “Tetra vaccine” yang mengandung 4 jenis vaksin, yaitu kombinasi DPT dan polio, cara pemberiannya dengan suntikan.
Poliomielitits ialah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh virus polio. Virus polio akan merusak bagian anterior (bagian muka) susunan saraf tulang belakang. Gejala yang umum dan mudah dikenal ialah anak mendadak menjadi lumpuh pada salah satu anggota geraknya, setelah ia menderita demam selama 2-5 hari. Bila kelumpuhan itu terjadi pada otot pernafasan, mungkin anak akan meninggal karena sukar bernafas. Penyakit ini dapat langsung menular dari seorang penderita polio atau dengan melalui makanan.
Vaksin dasar diberikan ketika anak berumur 2 bulan, sebanyak 2-3 kali. Jarak waktu antara 2 pemberian ialah 4-6 minggu. Sevaksinasi diberikan ketika anak berumur 1 ½ – 2 tahun, menjelang umur 5 tahun dan menjelang umur 10 tahun (lihatlah jadwal imunisasi, hal 61). Vaksin polio dapat diberikan bersama dengan vaksin DPT. Pada pemberian vaksin polio perlu diperhatikan bayi yang masih mendapat ASI. Karena ASI mengandung zat anti terhadap polio, maka dalam waktu 2 jam setelah minum vaksin polio bayi tersebut tidak diberi ASI dahulu. Zat anti yang terdapat dalam ASI akan menghancurkan vaksin polio, sehingga imunisasi polio menjadi gagal. Sebenarnya masalah ini masih dipertentangkan. Pada saat ini, banyak sarjana berpendapat bahwa tidak ada pengaruh ASI terhadap imunisasi polio. ASI dapat diberikan seperti biasa, karena sifat dan jenis antibodi pada ASI.Kekebalan Daya proteksi vaksin polio sangat baik, yaitu sebesar 95-100%.Reaksi Vaksin biasanya tidak ada, mungkin pada bayi akan terdapat berak-berak ringan dan Efek samping Pada vaksin polio hampir tidak terdapat efek samping. Bila ada, mungkin berupa kelumpuhan anggota gerak seperti pada penyakit polio sebenarnya.
Pada anak dengan diare berat atau yang sedang sakit parah, imunisasi polio sebaiknya ditangguhkan. Demikian pula pada anak yang menderita penyakit defisiensi kekebalan tidak diberikan polio. Alasan untuk tidak memberikan vaksin polio pada keadaan diare berat ialah kemungkinan terjadinya diare yang lebih parah. Pada anak dengan penyakit batuk, pilek, demam atau diare ringan, imunisasi polio dapat diberikan seperti biasanya.
g.  Campak (Morbili)
Vaksin campak merupakan vaksin virus hidup yang dilemahkan. Setiap dosis (0,5 ml) mengandung tidak kurang dari 1000 infective unit virus strain CAM 70, dan tidak lebih dari 100 mcg residu kanamycin dan 30 mcg residu erythromycin. Vaksin ini berbentuk vaksin beku kering yang harus dilarutkan hanya dengan pelarut steril yang tersedia secara terpisah untuk tujuan tersebut. Vaksin ini telah memenuhi persyaratan WHO untuk vaksin campak.
Vaksin ini diberikan untuk mendapat kekebalan terhadap penyakit campak secar aktif. Vaksin campak yang beredar di Indonesia dapat diperoleh dalam bentuk kemasan kering tunggal atau dalam kemasan kering di kombinasi dengan vaksin gondong/bengok (mumps) dan rubela (campak Jerman). Di Amerika Serikat kemasan terakhir ini dikenal dengan nama MMR (Measles Mumps-Rubela Vaccine).
Bayi yang baru lahir telah mendapat kekebalan pasif terhadap penyakit campak dari ibunya ketika ia dalam kandungan. Makin lanjut umur bayi, makin berkurang kekebalan pasif tersebut. Waktu berumur 6 bulan biasanya bayi itu tidak mempunyai kekebalan pasif lagi. Dengan adanya kekebalan pasif ini sangatlah jarang seorang bayi menderita campak pada umur kurang dari 6 bulan.
Menurut WHO (1973) imunisasi campak cukup dilakukan dengan 1 kali suntikan setelah bayi berumur 9 bulan. Lebih baik lagi setelah ia berumur lebih dari 1 tahun. Karena kekebalan yang diperoleh berlangsung seumur hidup, maka tidak diperlukan revaksinasi lagi. Di Indonesia keadaannya berlainan. Kejadian campak masih tinggi dan sering dijumpai bayi menderita penyakit campak ketika ia berumur antara 6-9 bulan, jadi pada saat sebelum ketentuan batas umur 9 bulan untuk mendapat vaksinasi campak seperti yang dianjurkan WHO. Dengan memperhatikan kejadian ini, sebenarnya imunisasi campak dapat diberikan sebelum bayi berumur 9 bulan, misalnya pada umur antara 6-7 bulan ketika kekebalan pasif yang diperoleh dari ibu mulai menghilang. Akan tetapi kemudian ia harus mendapat satu kali suntikan ulang setlah berumur 15 bulan.
Daya proteksi imunisasi campak sangat tinggi, yaitu 96-99%. Menurut penelitian, kekebalan yang diperoleh ini berlangsung seumur hidup, sama langgengnya dengan kekebalan yang diperoleh bila anak terjangkit campak secara alamiah.
Biasanya tidak terdapat reaksi akibat imunisasi. Mungkin terjadi demam ringan dan nampak sedikit bercak merah pada pipi di bawah telinga pada hari ke 7-8 setelah penyuntikan. Mungkin pula terdapat pembengkakan pada tempat suntikan.
Dan untuk efek saampingnya Sangat jarang, mungkin terdapat kejang yang ringan dan tidak berbahaya pada hari ke 10-12 setelah penyuntikan. Selain itu dapat terjadi radang otak, berupa ensefalitis atau ensefalopati, dalam waktu 30 hari setelah imunisasi. Tetapi kejadiannya sangat jarang, yaitu 1 diantara 1 juta suntikan. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan kejadian radang otak akibat penyakit campak alamiah yang sebesar 1 diantara 250 kasus. Dengan demikian risiko untuk terjadinya radang otak akibat infeksi alamiah 2.500 kali lebih besar daripada akibat.
Menurut WHO (1963), indikasi kontra hanya berlaku terhadap anak yang sakit parah, yang menderita TBC tanpa pengobatan, atau yang menderita kurang gizi dalam derajat berat. Vaksinasi campak sebaiknya juga tidak diberikan pada anak dengan penyakit defisiensi kekebalan. Juga tidak diberikan pada anak yang menderita penyakit keganasan atau sedang dalam pengobatan penyakit keganasan. Karena belum terkumpulnya cukup informasi ilmiah, sebaiknya imunisasi campak pada ibu hamil ditangguhkan. Pada anak yang pernah kejang, imunisasi campak dapat diberikan seperti biasanya, asalkan dengan pengawasan dokter.
h.  Hepatitis-B (DNA recombinant)
Vaksin Hepatitis B Rekombinan adalah vaksin virus rekombinan yang telah diinaktivasi dan bersifat non-infectious, berasal dari HBsAg yang dihasilkan dalam sel ragi (Hansenula polymorpha) menggunakan teknologi DNA rekombinan. Vaksin ini merupakan suspensi berwarna putih yang diproduksi dari jaringan sel ragi yang mengandung gen HBsAg, yang dimurnnikan dan diinaktivasi melalui beberapa tahap proses fisiko kimia seperti ultrasentrifuse,kromatografi kolom, dan perlakuan dengan formaldehid.
Vaksinasi dimaksudkan untuk mendapat kekebalan aktif terhadap penyakit hepatitis B. Penyakit ini dalam istilah sehari-hari lebih dikenal  dengan nama penyakit lever. setelah diteliti bahwa virus hepatitis B mempunyai kaitan erat dengan terjadinya penyakit lever tadi. Vaksin terbuat dari plasma carrier hepatitis B yang sehat dengan cara pengolahan tertentu. Dari bahan plasma tersebut dapat dipisahkan dan dimurnikan bagian virus yang dapat dipakai dalam pembuatan vaksin lebih lanjut. Di kalangan masyarakat dikhawatirkan pemakaian vaksin yang terbuat dari plasma karena adanya berita akibat samping berupa penyakit AIDS. Namun setelah pemakaiannya yang lebih dari 10 tahun, ternyata tidak didapatkan adanya efek samping yang berarti. WHO melaporkan pula bahwa pemakaian vaksin tersebut cukup aman dan bebas dari penyakit AIDS.
Virus hepatitis B yang masuk dalam tubuh akan berkembang biak di dalam jaringan hati dan kemudian merusaknya. Gejala utama penyakit hepatitis ialah kekuningan pada mata, rasa lemah, mual, muntah, tidak nafsu makan dan demam.
Terhadap penyakit kanker terjadinya penularan hepatitis B, di antaranya:
(1)     Melalui tusukan di kulit dan jaringan tubuh lainnya, misalnya dengan suntikan biasa, tusukan anting, tato, akupunktur, goresan luka, tindakan operasi termasuk perawatan gigi
(2)     Pemindahan cairan tubuh, misalnya melalui susu ibu, bersenggama, berciuman, tindakan operasi
(3)     Melalui darah atau plasma waktu transfusi
4)     Selama masa janin dengan melalui uri, meskipun penularan cara ini jarang terjadi.
Vaksinisasi aktif dilakukan dengan cara pemberian suntikan dasar sebanyak 2 atau 3 kali dengan jarak waktu 1 bulan. Selanjutnya dilakukan 1 kali imunisasi ulang dalam waktu 5-12 bulan setelah imunisasi dasar. Revaksinasi berikutnya diberikan setiap 5 tahun. Cara pemberian imunisasi dasar di atas mungkin berbeda, karena tergantung dari jenis vaksin yang dibuat oleh pabrik. Misalnya imunisasi dasar dengan memakai vaksin buatan Pasteur Prancis berbeda dengan penggunaan vaksin MSD Amerika Serikat.
Di samping itu perlu diberikan pula imunisasi pasif, khusus bagi bayi yang dilahirkan dari seorang ibu yang mengidap virus hepatitis B. Caranya yaitu dengan pemberian imunoglobulin khusus dalam waktu 12 jam setelah bayi lahir. Kemudian dalam waktu 7 hari berikutnya bayi ini harus sudah mendapat imunisasi aktif dengan penyuntikan vaksin hepatitis B.
Mengingat daya tularnya yang tinggi dari ibu kepada bayi, sebaiknya ibu hamil memeriksakan darahnya untuk pemeriksaan hepatitis B, sehingga dapat dipersiapkan tindakan yang diperlukan menjelang kelahiran bayi.
Dari berbagai hasil penelitian, ternyata bahwa vaksinasi hepatitis B tidak hanya perlu diberikan pada anak dan bayi baru lahir, tetapi juga pada orang dewasa, khususnya mereka yang bertempat tinggal di suatu negara dengan angka kejadian penyakit yang tinggi. Pemberian vaksinasi pun perlu dilaksanakan terhadap karyawan kesehatan yang dalam pekerjaan sehari-harinya berhubungan dengan penderita atau material manusia (darah, tinja, air kemih). Mereka itu ialah dokter, dokter bedah, dokter gigi, perawat, bidan, pegawai laboratorium. Selanjutnya dianjurkan pula pemberian vaksinasi terhadap turis yang akan berwisata ke negara atau daerah endemik.
Kekebalan Daya proteksi vaksin hepatitis B cukup tinggi, yaitu berkisar antara 94-96%. Reaksi vaksin yang terjadi biasanya berupa nyeri pada tempat suntikan yang mungkin disertai dengan timbulnya rasa panas atau pembengkakan. Reaksi ini akan menghilang dalam waktu 2 hari. Reaksi lain yang mungkin terjadi ialah demam ringan. Efek samping Selama pemakaian 10 tahun ini, tidak dilaporkan adanya efek samping yang berarti. Berbagai suara di masyarakat tentang kemungkinan terjangkit oleh penyakit AIDS, merupakan pemberitaan yang dibesar-besarkan. Dengan penelitian yang luas, WHO tetap menganjurkan pelaksanaan imunisasi hepatitis B.
Vaksin tidak dapat diberikan kepada anak yang menderita sakit berat. Vaksinasi hepatitis B ini dapat diberikan kepada ibu hamil dengan nama aman dan tidak akan membahayakan janin. Bahkan akan memberikan perlindungan kepada janin selama dalam kandungan ibu maupun kepada bayi selama beberapa bulan setelah lahir.

i.    Vaksin Tipa (tifus, paratifus A-B-C)
Vaksin ini diberikan untuk memperoleh kekebalan aktif terhadap penyakit tifus dan paratifus. Vaksinasi ini tidak dimasukkan dalam prioritas Departemen Kesehatan untuk Program Pengembangan Imunisasi, walaupun kejadian penyakit tifus dan paratifus di Indonesia masih tinggi. Kebijakan ini didasarkan pertimbangan karena penyakit tersebut pada anak tidak berbahaya dan jarang menimbulkan komplikasi. Berlainan sekali dengan pada orang dewasa yang tidak jarang dapat menimbulkan kematian. Namun demikian tetap dianjurkan untuk memberikan imunisasi tifus dan paratifus pada anak.
Untuk bepergian ke beberapa negara pun masih diperlukan keterangan vaksinasi terhadap tifus dan paratifus. Vaksinasi dianjurkan pula bagi turis yang akan berkunjung ke negara tropis dengan kejadian penyakit yang masih tinggi. Vaksin tipa mengandung bakteria Salmonela typhi dan Salmonela paratyphi A-B-C yang telah dimatikan dengan memakai bahan kimia. Vaksin ini masih diproduksi di dalam negeri oleh Perum, Biofarma, Bandung.
Penyakit ini biasanya terjadi setelah anak berumur 2 tahun. Perjalanan penyakitnya tidak membahayakan. Tetapi sering mengkhawatirkan orang tua karena gejala demamnya yang tinggi dan dapat berlangsung selama lebih dari 1 minggu. Berlainan halnya dengan pada orang dewasa, komplikasi penyakit tifus jarang terjadi pada anak.
Penularan terjadi melalui mulut karena makanan yang kurang bersih dan mengandung bakteria Salmonela. Pencegahan penularan penyakit mengalami berbagai hambatan, di antaranya karena banyaknya carrier yang merupakan sumber penularan penyakit. Sering terjadi seorang juru masak menjadi biang keladi penularan, karena sebagai carrier dapat menyebarkan penyakit ke seluruh anggota keluarga di rumah, kapal laut, asrama, rumah makan dan sebagainya.
Cara Vaksin/imunisasi dasar diberikan sebanyak 3 kali, masing-masing pada umur 15 bulan, 16 bulan dan 17 bulan. Beberapa sarjana menyarankan agar vaksinasi diberikan setelah anak berumur lebih dari 2 tahun, karena jarangnya kejadian penyakit ini pada anak yang lebih muda. Revaksinasi dilakukan setiap  tahun dengan 1 kali suntikan , Revaksinasi juga diberikan pula bila sewaktu-waktu ada wabah atau kontak dengan penderita serumah. Demikian pula pada orang dewasa, revaksinasi hendaknya diberikan setiap 3 tahun.
Cara pemberian imunisasi adalah dengan penyuntikan “bawah kulit” pada lengan atas atau dengan penyuntikan “dalam kulit” pada lengan bawah depan seperti halnya suntikan pada uji Mantoux. Ada yang berpendapat bahwa suntikan pertama dilakukan “bawah kulit” dan suntikan berikutnya “dalam kulit”.
Reaksi yang sering terjadi ialah demam yang timbul 1 hari setelah penyuntikan. Demam ini dapat berlangsung selama 1-3 hari. Sering pula dijumpai reaksi lokal berupa pembengkakan di tempat suntikan disertai dengan rasa nyeri pada pergerakan. Dan gejala menggigil dalam waktu 1 jam setelah penyuntikan. Keadaan menggigil ini biasanya akan menghilang sendiri 15 menit kemudian. Pada penyuntikan “dalam kulit” reaksi tersebut di atas terjadi dalam bentuk yang lebih ringan dan biasanya tidak disertai adanya reaksi menggigil. Reaksi yang dijumpai pada penyuntikan “dalam kulit” biasanya hanya reaksi kemerahan kulit di tempat suntikan.
Bila terjadi demam tinggi dapat diberikan obat penawar panas, seperti parasetamol, biogesic, tempra dan sebagainya. Pada tekanan menggigil dapat diberikan selimut dan ujung tangan/kaki digosok dengan minyak kayu putih atau minyak gandapura. Kompres dengan air hangat dapat diberikan untuk reaksi kemerahan kulit pada tempat suntikan.
Jarang terjadi efek samping imunisasi. Bila vaksin diberikan tipa diberikan kepada ibu hamil mungkin dapat menyebabkan keguguran atau kelahiran bayi kurang bulan. Selain itu vaksinasi dapat menimbulkan kelainan jantung atau kelainan jantung atau kelainan ginjal bila diberikan kepada mereka yang memang sebelumnya telah berpenyakit jantung atau menderita kelainan ginjal.Kekebalannya Daya lindung vaksinasi tifus dan paratifus cukup baik. untukI ndikasi kontra Bagi anak pada dasarnya tidak ada indikasi kontra untuk pemberian imunisasi tipa, kecuali pada anak yang panas tinggi atau sedang sakit parah. Vaksinasi tipa hendaknya dilakukan secara berhati-hati dan dengan pertimbangan khusus bila diberikan kepada ibu hamil atau mereka yang pernah menderita penyakit jantung atau penyakit ginjal.
j.  Vaksin Gondong (Bengok, Parotitis)
Pemberian vaksin bertujuan untuk menimbulkan kekebalan terhadap penyakit gondong/bengok. Istilah asing untuk penyakit ini ialah parotitis (Latin) atau mumps (Inggris). Penyakit ini disebabkan oleh sejenis virus. Vaksin parotitis ini terbuat dari jenis virus gondong yang telah dilemahkan.
Penyakit gondong merupakan penyakit infeksi virus pada kelenjar air liur. Penyakit ini sebenarnya tidak berbahaya, tetapi sewaktu-waktu dapat memberikan komplikasi yang cukup serius. Komplikasi yang paling pembengkakan di daerah pipi yang biasanya tidak nyeri tekan. Selain itu dapat timbul pula rasa kurang enak badan yang tidak menentu, nyeri kepala dan rasa sakit bila menelan atau bila mengeluarkan air liur. Penyakit ini akan mereda dan sembuh dalam waktu 7-8 hari.
vaksin diberikan pada anak berumur lebih dari 12 bulan. Selain itu juga pada orang dewasa yang belum pernah menderita penyakit gondong. Karena masih adanya kekebalan alamiah pasif dari ibu, tidak dianjurkan pemberian imunisasi pada anak kurang dari 12 bulan. Imunisasi cukup diberikan dengan 1 kali suntikan tanpa revaksinasi, bila imunisasi dilakukan pada anak yang berumur lebih dari 12 bulan. Kekebalan Daya lindung vaksin gondong sangat baik, yaitu sebesar 97% pada anak dan 93% pada orang dewasa.
Biasanya jarang terjadi reaksi imunisasi. Bila ada dapat berupa kenaikan suhu ringan atau rasa sakit dan panas pada tempat suntikan yang berlangsung selama 1-2 hari. Efek sampingnya pun sangat jarang dijumpai. Bila ada,mungkin dapat berupa radang otak, timbulnya bercak merah dan rasa gatal pada kulit.
Sebaiknya vaksinasi tidak dilakukan pada ibu hamil, karena belum lengkapnya informasi mengenai pengaruh vaksin terhadap janin. Vaksinasi juga tidak diberikan pada penderita dengan keganasan atau yang dalam pengobatan terhadap penyakit keganasan

2. Serum
a. Serum Anti Diptheri
Serum Anti Diptheri ini adalah serum yang dibuat dari plasma kuda yang dikebalkan terhadap toksin difteri. Plasma ini dimurnikan dan dipekatkan serta mengandung fenol 0.25% sebagai pengawet.
b. Serum Anti Tetanus
Serum Anti Tetanus ini adalah serum yang dibuat dari plasma kuda
yang dikebalkan terhadap toksin tetanus. Plasma ini dimurnikan
dan dipekatkan serta mengandung fenol 0.25% sebagai pengawet.
c. Serum Anti Bisa Ular
Serum Anti Bisa Ular adalah serum polivalen yang berasal dari plasma kuda yang dikebalkan terhadap bisa ular yang mempunyai efek neurotoksik (ular jenis Naja sputarix-ular kobra, Bungarus fasciatus-ular belang) dan hemotoksik (ular Ankystrodon rhdostoma-ular tanah) yang kebanyakan ada di Indonesia. Berfungsi untuk pengobatan terhadap gigitan ular berbisa yang mengandung efek neurotoksik (Naja sputatrix / ular Kobra, Bungarus fasciatus / ular Belang) dan efek hemotoksis (Ankystrodon rhodostoma / ular Tanah).
d. Serum Anti Rabies
Serum Anti Rabies ini adalah serum yang dibuat dari plasma kuda yang dikebalkan terhadap virus rabies. Plasma ini dimurnikan dan dipekatkan serta mengandung fenol 0.25% sebagai pengawet.

2.3 Golongan Obat
1. Vaksin
    a. Vaksin BCG Kering
-     Indikasi : Digunakan sebgai pencegahan terhadap penyakit TBC Bagi mereka yang bereaksi Negatif terhadap tes Tuberkulin,
-    Kontra Indikasi : Bila reaksi mantoux positif pelindungan yang diberikan oleh Vaksinasi ini adalah untuk 10-15 tahun.
-    Epek samping : Timbul ulserasi dan abses pada tempat injeksi yang kemudian terjadi parut. Beberapa Tuberkulostatika dapat mengurangi efektifitas vaksinasi karena perlipat gandaan mycobacterium terhambat.
-    Dosis : Bayi kurang dari 1 tahun 0,05 ml . i.k: anak < 1 tahun 0,1ml i.k . imunisi ulang usia 5-7 th 0,1 ml dan usia 12-15 th 0,1 ml.
b. Vaksin Campak kering
-    Dosis : Anak mulai umur 9 bulan s.k. 1 dosis 0,5 ml dari vaksin yang telah dilarutkan.
-    Efek saamping : terdapat kejang yang ringan dan tidak berbahaya pada hari ke 10-12 setelah penyuntikan.
c. Vaksin Hepatitis B rekombinan
-    Indikasi : Digunakan untuk imunisasi aktif terhadap infeksi yang disebabkann oleh HBV tidak untuk hepatitis A atau C. khusus di anjurkan bagi mereka yang memiliki resiko tinggi terhadap infeksi oleh virus ini. Misalnya penderika hemofili, pasen hemodialisis dan orang yang sering mendapatkan transpusi darah pencandu obat bius suntik dan homoseksual.
-    Wanita hamil : Vaksinasi tidak di anjurkan karena efek antigen terhadap janin belum diketahui .
-    Dosis : Vaksin terdiri dari 3 dosis yang disuntikan i.m. dengan interval 1 dan 6 bulan (Pada bulan 1, 2, daan 7). Kemudian setiap 5 th setelah imunisasi dasar .
d. Vaksin kolera
-    Tiap mili mengandung suspense dfari 4 miliar kuman Vibrio cholerae inaba resp.ogawa yang telah dimatikan melalui pemanasan. Kadang-kadang juga digunakan tipe EL tor. Perlindungan (terbatras) yang diberikan oleh vaksinasi ini terhadap kolera menurun setelah 3-6 bulan.
-    Dosis : untuk inunisasi dasar s.k. 2 dosis dengan jarak 4-6 minggu. Dosis sesuai usia.
5. Obat Golongan antihistamin
- Merupakan Vaksin antiserum dan imonologikal untuk mengendalikan/mencagah alergi dalam jangka waktu panjang
- Mekanismenya bekerja menghambat reseptor H1 (AH1) yang menyebabkan timbulnya reaksi alergi akibat dilepaskannya histamin. Histamin inilah yang kemudian menimbulakn Reaksi vaksin/imunisasi seperti gatal-gatal, rauim kemerahan, pikek, bersin,dll.